PINTAR DENGAN BERMAIN

Jumat, 08 April 2011

BUNDA NINING MENULIS


 Bersama Lindungi Konsumen

Kamis, 17/03/2011 09:00 WIB - Nining S Muktamar
Sekretaris Dewan Pembina Yayasan KAKAK dan pemerhati persoalan anak
Dimuat di Harian Joglosemar

Pada Selasa, 15 Maret 2011 lalu serentak diperingati Hari Hak Konsumen Sedunia. Penentuan tanggal 15 Maret sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia, berawal dari pidato Presiden Amerika Serikat John F Kennedy pada 15 Maret 1962. Dalam pidatonya, Kennedy menyampaikan empat hak dasar konsumen. Yaitu hak mendapat kebutuhan dasar, hak atas keamanan, hak atas informasi, dan hak memilih. 
Substansi pidato JFK itu kemudian menginspirasi International Organizations of Consumers Union (IOCU, kini berganti nama menjadi Consumers International/CI) untuk menguraikannya menjadi delapan hak konsumen, yaitu kebutuhan dasar, hak atas keamanan, hak atas informasi, hak memilih, hak didengarkan, hak mendapat ganti rugi, hak atas pendidikan, dan hak atas lingkungan yang sehat. Pada 9 April 1985, Majelis Umum PBB memasukkan hak-hak dasar konsumen tersebut ke dalam United Nation Guidelines for Consumer Protection, yaitu panduan dasar bagi negara-negara anggota PBB dalam membuat kebijakan perlindungan konsumen di semua negara anggota PBB.
Di Indonesia, hak-hak konsumen seperti yang telah disebutkan juga diakui menjadi hak-hak konsumen dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dan bagaimanakah hak-hak konsumen dijamin terpenuhinya di negara kita? Bagaimana pula dengan situasi anak-anak sebagai konsumen? 
Situasi saat ini, seperti kita rasakan bersama, pelanggaran hak-hak konsumen masih banyak sekali ditemukan, khususnya anak-anak. Dari persoalan makanan, pendidikan sampai persoalan kesehatan. Pemberitaan dari berbagai media tentang keracunan makanan marak terjadi, antara lain keracunan makanan yang diduga karena makan sosis (Joglosemar, 15/6 2010); pemberitaan tentang  “3 Bocah Keracunan Permen” (Solopos, 1/8 2010). Masih terkait makanan untuk anak-anak, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, melakukan pemeriksaan pada 25 jenis makanan anak di SD Langenharjo dan MIN Sukoharjo, yang digunakan sebagai sampel untuk diperiksa di laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK). Hal ini dilakukan karena banyak jenis makanan yang dijual di lingkungan sekolah disinyalir mengandung zat-zat berbahaya seperti formalin, boraks, bahan pewarna dan zat pemanis, yang berbahaya jika dikonsumsi anak-anak (Joglosemar, 9/10 2010). Selain itu, hasil uji dari Dinas Kesehatan Solo pada tahun 2010 atas sampel jajanan anak-anak di 75 sekolah dasar (SD) di Kota Solo menunjukkan 80 persen makanan yang biasa dibeli anak-anak sekolah mengandung zat berbahaya (Solopos, 29 Desember 2010).
Dan belum lama ini, masyarakat sempat dihebohkan dengan hasil riset tentang susu formula yang ternyata mengandung beracun Enterobacter sakazakii.  Bakteri beracun Enterobacter sakazakii sangat membahayakan bagi kesehatan anak. Bila benar temuan tersebut, maka anak yang mengonsumsi susu formula yang mengandung bakteri akan menyebabkan anak berisiko terkena radang selaput otak, radang usus dan bahkan peradangan pada seluruh tubuh. Namun, adanya temuan ini tidak segera memperoleh respons yang mengayomi masyarakat, dan justru menjadi polemik yang menjadikan masyarakat semakin bingung. 
Hal lain yang terjadi dan merupakan gambaran lemahnya perlindungan anak sebagai konsumen adalah maraknya mainan berbahaya bagi anak-anak.  Pada September lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan beredarnya produk pistol mainan anak berbahaya di pasaran. Pistol mainan berbahaya tersebut telah memakan banyak korban, hingga ada banyak permintaan dari masyarakat untuk menarik produk tersebut. 
Beberapa hal di atas, baru sedikit kasus dari banyak kasus yang lain, yang menggambarkan betapa buramnya situasi perlindungan anak sebagai konsumen. Banyak hal yang terjadi, sangat mengancam keberlangsungan hidup anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang belum terjamin pemenuhannya. Tentunya realita ini harus disikapi dengan terbuka dan sportif untuk melakukan perbaikan oleh semua pihak. Momentum Hari Hak Konsumen Sedunia ini, marilah kita gunakan sebagai refleksi guna perbaikan ke depan. Refleksi tentang peran-peran yang bisa kita ambil, sehingga akan ada secercah harapan untuk masa depan.
Gerakan Bersama
Terjaminnya pemenuhan hak-hak anak sebagai konsumen, itu adalah harapan masa depan, karena situasi ini akan membentuk generasi menjadi generasi yang berkualitas.  Tentunya harus dengan banyak upaya dan strategi yang baik untuk menggapainya. Semua pihak hendaknya mengambil peran, baik pemerintah, masyarakat maupun konsumen itu sendiri, sehingga terbangun sebuah gerakan bersama untuk mewujudkan perlindungan bagi konsumen.
Pertama, pemerintah. Pemerintah sebagai representasi negara, memiliki kewajiban mendorong dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak sebagai konsumen. Hal ini dilakukan dengan melakukan pembinaan perlindungan konsumen baik bagi  konsumen sendiri maupun bagi pelaku usaha agar mengindahkan hak-hak konsumen.  Penyebaran informasi tentang hak-hak konsumen dan bagaimanakah sengketa konsumen bisa dilakukan kepada masyarakat penting dilakukan, karena hingga saat ini masyarakat belum memiliki dan bisa mengakses informasi dengan mudah. Selain itu pemerintah harus secara sistematis mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dan pelaksanaan peraturan perundangan yang ada. Pengembangan program-program perlindungan konsumen, pemberdayaan masyarakat untuk perlindungan konsumen juga merupakan usaha yang bisa dilakukan pemerintah.
Kedua, konsumen dan masyarakat. Konsumen dalam hal ini anak-anak dan orangtua, bisa mengambil peran, dengan menjadi konsumen yang cerdas. Orangtua adalah pihak yang sangat mempengaruhi karena pola konsumsi anak sangat tergantung dengan pola konsumsi orangtua. Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang kritis, yang memahami akan hak-haknya, penuh perhitungan dalam mengonsumsi barang dan jasa, serta konsumen yang tidak nrimo jika mengetahui atau mengalami pelanggaran hak-haknya.
Ada  beberapa langkah yang bisa dilakukan agar bisa menjadi konsumen yang cerdas, yaitu dengan membiasakan melakukan hal-hal sebagai berikut. Menetapkan prioritas kebutuhan, melihat dengan teliti sebelum mengonsumsi, membaca (label, merek dan iklan) dengan kritis, membandingkan harga dan kegunaan, menggunakan secara hemat dan cermat, menggunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, melaporkan langsung setiap complain dan memilih produk yang ramah lingkungan dan bumi.
Apabila anak-anak dan masyarakat sudah menjadi konsumen cerdas, sehingga menjadi sebuah gerakan bersama maka gerakan ini akan memacu para produsen untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan konsumen.  Sehingga para produsen akan menyediakan barang dan jasa yang melindungi hak-hak konsumen serta ramah terhadap lingkungan, sesuai dengan tuntutan konsumen.  
Dengan bergerak secara bersama-sama dan memerankan peran masing-masing secara maksimal, tentunya perlindungan konsumen akan terwujud. Semoga.  n

Urgensi Ruang Merokok

Senin, 07/02/2011 09:00 WIB - Nining S Muktamar 
Sekretaris Dewan Pembina Yayasan KAKAK dan pemerhati persoalan anakDi muat di Harian Joglosemar



Beberapa hari terakhir, Joglosemar banyak menyoroti persoalan ruang merokok dan ruang menyusui yang akan dibangun di fasilitas publik di Kota Solo. Keduanya adalah hal baik demi melindungi masyarakat, terkhusus anak-anak. Keduanya baik dilakukan, tentunya dengan proses yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak serta adanya akuntabilitas kepada publik. 
Rokok, tentunya benda yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Bahaya merokok juga bukan rahasia dan sudah banyak orang yang telah mengetahuinya.  Memurut Dr Kusman Surikusumah SpKJ, rokok berisi nikotin yang merupakan salah satu zat adiktif narkotika psikotropika dan bahan adiktif lainnya (Narkoba) yang akan langsung mempengaruhi kondisi kesehatan otak (Warta BNN 03 Tahun III/2005). Asap tembakau dalam rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, di mana lebih dari 250 zat merupakan toksin (racun) atau karsinogenik (penyebab kanker).
Namun ironisnya, banyak orang yang mengabaikannya.  Hal ini dibuktikan, bahwa fakta perokok di Indonesia adalah sangat tinggi.  Hasil penelitian dari sebuah LSM di Indonesia menemukan bahwa hampir satu dari tiga orang dewasa merokok. Prevalensi merokok di kalangan orang dewasa meningkat 31,5 persen pada 2001 dari 26,9 persen pada 1995. Lebih dari enam dari 10 pria merokok, namun sedikit wanita yang merokok. Pada tahun 2001, 62,2 persen dari pria dewasa merokok, dibandingkan dengan 53,4 persen pada 1995. Hanya 1,3 persen wanita dilaporkan merokok secara teratur pada 2001. Hal ini menggambarkan bahwa pengetahuan tentang bahaya merokok belum mampu membendung peningkatan pengguna rokok di Indonesia.
Saat ini perokok di kalangan anak-anak dan remaja juga semakin meningkat. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5–9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001–2004. Sementara remaja usia 15–19 tahun meningkat hingga 144 persen selama tahun 1995–2004.
Hak Dasar Anak
Sedangkan data Global Youth Tobacco Survey, menunjukkan bahwa tiga dari 10 siswa di Indonesia yang berusia di bawah 10 tahun mencoba merokok. Sebanyak 78 persen memulainya dalam usia di bawah 19 tahun. Tidak hanya menjadi perokok aktif, sekitar 43 juta anak Indonesia usia di bawah 14 tahun menjadi perokok pasif karena hidup serumah dengan perokok dan 81 persen anak usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di tempat umum (Kompas 30 Juli 2007). Data yang paling memprihatinkan adalah data yang dihimpun oleh Komnas Perlindungan Anak yang menyebutkan, anak-anak yang meninggal oleh penyakit yang dipicu asap rokok di Indonesia mencapai 4.700 orang per tahun.  Hal ini menggambarkan bahwa hak kelangsungan hidup anak telah terancam. Hak kelangsungan hidup adalah hak dasar anak, selain tiga hak dasar yang lain yaitu hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan serta hak partisipasi. 
Hal ini mempertegas bahwa dibutuhkan langkah-langkah yang lain, agar bahaya rokok tidak semakin meluas di lingkungan kita. Apabila langkah-langkah tidak segera diambil, bukan mustahil kerusakan lingkungan akibat bahaya asap rokok akan terjadi. Dan yang lebih membahayakan lagi, hal ini akan berdampak pada hilangnya generasi bangsa yang baik bagi negeri ini.
Pembuatan ruang merokok di fasilitas publik, adalah langkah yang harus disambut dengan baik. Dengan adanya ruang merokok, paling tidak akan melokalisasi asap rokok sehingga penyebarannya tidak akan meluas.  Selain itu, adanya ruang merokok akan mengurangi kesempatan merokok di ruang bebas, sehingga anak-anak akan kehilangan model atau contoh perokok, karena mereka tidak akan dengan mudah melihat orang merokok. Karena dengan melihat itulah para anak dan remaja belajar.
Selain hal di atas, ada beberapa upaya lain yang bisa dilakukan untuk mencegah agar anak-anak tidak merokok. Antara lain adalah dengan membangun gerakan antirokok di sekolah-sekolah, mengenalkan bahaya merokok sejak dini, membuat area-area bebas rokok serta menghapuskan segala macam promosi rokok bagi anak-anak.  Hal ini senada dengan rencana pemerintah untuk menghilangkan iklan-iklan rokok yang saat ini masih banyak terpampang di tempat umum, yang sangat terakses bagi anak-anak.  
Ruang Menyusui
Pemberian air susu ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI eksklusif hingga usia bayi 2 tahun, merupakan salah satu modal dasar pembentukan manusia berkualitas. ASI merupakan makanan paling sempurna bagi bayi. Hal ini karena kandungan gizi sesuai kebutuhan, untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Prof. Sri Handayani, dalam buku Asi, Hak Asasi Anak menuliskan bahwa ASI mempunyai komponen yang sangat spesifik dan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan bayi. ASI mengandung antibodi yang merupakan perlindungan alami bagi bayi baru lahir. ASI-pun bermanfaat meningkatkan daya tahan tubuh bayi.  
Bagaimanakah tingkat pemberian ASI hingga saat ini? Dari hasil survei demografi kesehatan Indonesia 1997, menunjukkan pemberian ASI eksklusif sampai dengan umur 4 bulan baru mencapai 52 persen. Dilanjutkan Susenas 1989-1999 menunjukkan gangguan pertumbuhan pada bayi terjadi saat bayi mulai menginjak usia 3-4 bulan. Hal ini membuktikan pentingnya ASI untuk bayi. Di Kota Solo, tingkat pemberian ASI eksklusif juga masih rendah. Penelitian Yayasan Kakak pada 2002 menemukan bahwa tingkat pemberian ASI eksklusif baru mencapai 37 persen. 
Beberapa faktor penyebab rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif antara lain karena masih minimnya informasi, belum banyak fasilitas yang mendukung suksesnya menyusui (misal: belum banyak tempat penitipan anak di tempat bekerja,  minimnya ruang menyusui di fasilitas publik sehingga menjadikan sebagian ibu-ibu yang menyusui sungkan untuk menyusui bayinya), gencarnya promosi Pengganti ASI (PASI) dan juga masih minimnya kebijakan yang mendukung pemberian ASI. 
Dari gambaran di atas, penyediaan ruang-ruang menyusui di fasilitas publik, adalah bagian dari upaya untuk menyukseskan pemberian ASI. Upaya ini sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Misalnya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, ruang menyusui sudah ada. Dan di beberapa mal di Jakarta sudah ada beberapa yang menyediakan ruang menyusui. Di Surakarta, pojok menyusui atau ruang menyusui belum begitu banyak dilakukan.  Pengalaman pribadi penulis, mengetahui adanya pojok menyusui baru di salah satu rumah sakit di Surakarta.
Untuk itu, inisiatif atau rencana pemerintah untuk menyediakan ruang menyusui di fasilitas publik, hendaklah disambut dengan baik dan didukung.
Sebagai penutup dari urun rembuk ini, seperti dituliskan di depan, bahwa keduanya, baik penyediaan ruang merokok maupun ruang menyusui di fasilitas publik adalah dua langkah strategis yang penting dilakukan.  Semoga menjadi bagian dalam proses pemenuhan hak-hak anak serta bagian dalam menciptakan kota yang layak bagi anak. Semoga. 
REMAJA,
KUASAI DAN JANGAN DIKUASAI TEKNOLOGI
Oleh : Nining S. Muktamar1
Bulan Maret 2011
Dimuat di BocahPintartoys.blogspot.com

Merebaknya aksi pornografi yang terjadi pada remaja, tepatnya pada pelajar, tentunya memprihatinkan banyak pihak. Cukup banyak kasus yang diberitakan oleh media, di seluruh tanah air tercinta – Indonesia, yang memberitakan bagaiaman para remaja menjadi korban pornografi. Menurut hasil survey sepanjang tahun 2008, konselor Yayasan Kita dan Buah Hati melakukan survei terhadap 1.625 siswa kelas empat hingga enam Sekolah Dasar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Hasilnya menunjukkan bahwa 66 persen dari anak-anak tersebut sudah menyaksikan materi pornografi dari berbagai media seperti komik (24 persen), permainan (18 persen), situs porno (16 persen), film (14 persen), cakram digital (10 persen), telepon genggam (delapan persen) serta majalah dan koran (4-6 persen). Bagitu juga halnya dengan hasil survei Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia tahun 2007 yang juga tidak memberikan gambaran yang lebih baik. Menurut hasil survei itu, 97 persen remaja pernah menonton film porno.

Begitupun yang terjadi di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri,menemukan bahwa akses pornografi banyak dilakukan oleh pelajar di Kota surakarta. Dari jumlah responden 352 remaja yang masih berstatus pelajar di 10 sekolah tingkat atas di Surakarta, sebesar 56% menyatakan media online menjadi sarana untuk mengetahui informasi tentang seks, kemudian terbanyak kedua adalah teman sebaya sebesar 15% diikuti orang tua (12%), guru (9%), serta organisasi remaja dan lainnya masing-masing sebesar 4%. Kemudian dari jumlah responden yang mengakses materi pornografi sebanyak 63% pernah mengakses materi pornografi baik berupa film, gambar maupun cerita porno (Publikasi Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri, 06 Oktober, 2009). Selian itu, berita pada Harian Joglosemar pada tanggal 18 maret 2011 memberitakan adanya dugaan keterlibatan siswa SMK dalam pembuatan video mesum. Saking memprihatinkannya sampai-sampai Harian Joglosemar mengulasnya dalam kolom refleksi.  Pun liputan pada tanggal 19 Maret dalam kolom mahasiswa, masih meliput hal yang senada. Salahsatu dampak dari fenomena ini, adalah meningkatnya remaja atau anak yang menjadi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak.  Pengalaman pendampingan terhadap korban kekerasan seksual yang dilakukan Yayasan KAKAK, menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pelaku yang masih berumur anak atau remaja meningkat.  Sebagian besar mereka dipicu oleh pernah menonton tayangan pornografi.
Hal ini, penting menjadi perhatian semua dan mencari solusi bagaimana agar para remaja dan pelajar ini bisa terhindar dari situasi yang memprihatinkan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana solusinya, tentunya terlebih dahulu harus dijawab pertanyaan besar “Mengapa ini bisa terjadi?” Saya sendiri berpendapat, bahwa para remaja dan pelajar, bukanlah pihak yang serta merta boleh disalahkan dalam situasi ini, karena meraka merupakan bagian dari korban. Korban apakah? Pertama, adalah korban dari sistem informasi atau tepatnya korban dari para pihak penyebar informasi yang tidak bertanggungjawab. Sangat disadari, bahwa saat ini, maraknya informasi yang berbau pornografi banyak sekali beredar.  Hal ini didukung dengan booming media teknologi yang sangat pesat, yang bisa dimiliki oleh siapapun dan pastinya remaja.  Lihat saja, saat ini bisa dibilang hampir semua anak-anak atau remaja memiliki Hand Phone.  Bahkan mereka lebih familier dibandingkan dengan para orangtua mereka.  Dan melalui Hand Phone inilah, mereka bisa mengakses banyak informasi, yang belum tentu semua baik untuk mereka. Para remaja menelan informasi tersebut mentah-mentah tanpa adanya filter. 
Di satu sisi, dilihat dari perspektif psikologis, masa remaja adalah masa dimana keingintauan  dan keinginanan anak untuk mencoba hal yang baru adalah sangat tinggi.  Sedangkan hal-hal yang berbau seksualitas, adalah hal yang mungkin cukup mengundang keingintauan mereka. Makanya tanpa diimbangi dengan informasi yang baik dan tepat, hal ini justru akan menjerumuskan anak dan remaja.  Pemberian informasi mengenai hak-hak reproduksi bagi remaja, menjadi penting dilakukan.  Dengan adanya penyadaran tentang hak reproduksi, diharapkan remaja akan menjadi cerdas dalam menjaga diri sendiri dan menghormati hak reproduksi oranglain.  Banyak hal yang terjadi, sebenarnya merupakan sikap tidak saling menghormatinya hak reproduksi dari tiap-tiap orang. 
Dibalik banyak peristiwa yang memprihatinkan diatas, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar terhindar dari situasi yang tidak diinginkan tersebut. Pertama, khususnya bagi para remaja juga orangtua, marilah kita kuasai teknologi dan jangan kita yang dikuasai teknologi.  Kalau kita bisa menguasai teknologi, ada banyak hal positif yang bisa kita raih, namun jika kita yang dikuasai teknologi, maka kita hanya menemukan hal-hal yang membawa kerugian untuk kita. Ada cukup banyak pengalaman bagus dari penguasaan teknologi.  Bahkan juga pengalaman dari anak-anak. Lihat saja pengalaman Fahma dan Hania, kakak beradik yang berasal dari Kota Bandung. Fahma masih duduk di Sekolah Dasar dan Hania bahkan masih di TK B (pada waktu memperoleh penghargaan), adalah sang juara dalam lomba software APICTA International 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka mampu membuat software yang canggih langsung dengan animasi tiga dimensi dan yang lebih penting adalah bagaimana software tersebut bisa bermanfaat.  Nah, satu contoh ini adalah contoh yang patut menjadi teladan manfaat dari penguasaan teknologi yang bagus.
Yang kedua adalah, hendaknya para remaja memiliki cita-cita yang tinggi bahkan setinggi langit.  Dengan memiliki cita-cita yang tinggi, para remaja akan memiliki harapan dan tentunya akan menjadi lebih kreatif untuk meraih cita-cita mereka.  Kalau cita-cita sudah dimiliki tentunya akan menjadi tameng untuk melawan jika ada pengaruh buruk yang menghinggapi remaja.  Namun, cita-cita yang baik juga akan menjadi sekedar mimpi tidak berarti tanpa adanya konsistensi untuk meraihnya. Makanya menjaga konsistensi usaha adalah hal yang tidak kalah pentingnya.  Semoga dengan demikian, para remaja akan dapat meraih masa depan yang gemilang.

Potensi Busung Lapar Di Surakarta
Tidak Bisa Dibiarkan
::12 Feb 2007
::Dimuat di Harian Solopos
Oleh : Nining S. Muktamar & fajar Yulianta

Sebanyak 140 anak berusia di bawah lima tahun (Balita) mengalami berat badan kurang, atau dalam istilah kesehatan biasa dikenal dengan istilah di bawah garis merah (BGM). Jika kondisi ini berlanjut, ke 140 anak ini akan berpotensi kurang gizi dan jika masih dibiarkan berlanjut akan berpotensi busung lapar. (Solopos, 4 Juni 2005).



Berita yang menghenyakkan dan sangat menyedihkan. Saat ini, banyak orang mengatakan bahwa sudah saatnya kita sekarang menyingsingkan lengan baju untuk berkompetisi dalam era globalisasi, saatnya memajukan bangsa dan bisa bersaing dengan negara lain. Tetapi berita-berita tentang busung lapar yang melanda, sungguh sangat ironis.



Semakin banyak anak dan balita yang terdeteksi busung lapar, bahkan ada yang telah meninggal. Tidak bisa di persoalkan, bahwa baru sedikit anak yang meninggal atau kasusnya belum busung lapar, akan tetapi fakta bahwa busung lapar telah melanda dan ada beberapa kasus yang sampai meninggal, adalah menunjukkan persoalan yang sangat serius.



Busung lapar menyebabkan lost generation. Akan bagaimanakah nasib anak Indonesia dan bagaimanakah nasib bangsa Indonesia kalau generasinya sudah layu sebelum berkembang, bahkan sudah meninggal sebelum bangsa ini maju?



Banyak sudah data dan permasalahan gizi buruk maupun busung lapar yang diekspos oleh beberapa media cetak (bahkan semua?) baik nasional maupun daerah. Semua menggambarkan betapa masalah gizi buruk dan busung lapar harus segera ditangani dengan action nyata sehingga kasus busung lapar yang dalam hitungan hari bahkan hitungan jam selalu berubah yakni bertambah besar. Dan yang sangat memprihatinkan adalah sebagian besar dari penderita busung lapar tersebut adalah anak-anak.



Ada banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya busung lapar, diantaranya adalah karena kemiskinan, kesejahteraan ekonomi rendah, minimnya ketersediaan pangan, tidak teraturnya keseimbangan gizi dalam pola makan, dan minimnya kepekaan sosial terhadap lingkungan (Muhammad Haris, Solopos, 4 Juni 2006).



Hal senada juga disampaikan oleh Menko Kesra Alwi Sihab bahwa kemiskinan adalah faktor penyebab terjadinya busung lapar. Akan tetapi selain kemiskinan, kasus busung lapar disebabkan karena ketidaktahuan dari masyarakat mengenai penyediaan dan pemenuhan gizi yang baik bagi anak-anak. Kasus ini ternyata menimpa bukan hanya anak dari keluarga miskin saja, tetapi juga dari anak keluarga kaya (Republika, 27 Juni 2005).


Dari keterangan diatas semakin meyakinkan bahwa kemiskinan adalah hal yang sangat mempengaruhi terjadinya busung lapar. Bukan rahasia lagi, terhitung sejak tahun 1997, serentetan krisis yang melanda Indonesia menyebabkan daya beli masyarakat merosot tajam, harga barang dan kebutuhan pokok melambung, kemampuan berproduksi pabrik menurun dan terjadi gelombang PHK di berbagai sektor industri, dan hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin.



Di Kota Solo jumlah keluarga miskin mencapai 25,34% dari 114.027 jumlah KK di Solo, yaitu 28.902KK masuk dalam kategori miskin (Solopos, 4 Juni 2004). Hal ini ada korelasinya dengan gizi buruk yang terjadi dan menggambarkan bahwa demikian juga yang terjadi di daerah lain. Semakin banyak keluarga miskin di suatu daerah, semakin tinggi potensi anak dan balita terserang busung lapar.



Bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Akan tetapi usaha riil yang dibutuhkan. Peran pemerintah dan masyarakat dalam penanganan segera anak kurang gizi sebagai pencegahan busung lapar harus segera dilakukan. Ada banyak cara, dari mulai pemberian informasi yang benar tentang makanan sehat dan bergizi beserta penyajiannya, gaya hidup sehat, bantuan teknis seperti pembagian makanan pokok dan bergizi kepada keluarga miskin yang rawan kekurangan gizi.



Hal lain yang bisa disosialisasikan adalah kembali kepada makanan lokal. Karena sebenarnya Indonesia mempunyai banyak sekali bahan makanan lokal. Makanan bergizi tidak harus makanan yang serba instan dan dibuat pabrik, tetapi rumah kita dan kita sebagai sumbar daya manusianya bisa membuat makanan bergizi dari bahan makanan yang ada di lingkungan kita. Dalam Konferensi yang diselenggarakan oleh International Baby Food Network (IBFAN) di Bangkok, tahun 2004 salah satu rekomendasinya adalah kembali ke makanan lokal ( indigenous food).



Yayasan KAKAK melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita mulai usia 6 bulan yang diberi ASI dan makanan tambahan yakni makanan alami produk lokal. Hasilnya menunjukkan hal yang sangat menggembirakan, diantaranya adalah tiap bulan terjadi kenaikan secara signifikan berat badan bayi yakni rata-rata 200 gram, lingkar kepala selalu bertambah rata-rata 2 cm dan panjang badan/tinggi bertambah rata-rata 2 cm. Jadi pemberian ASI secara Eksklusif 6 bulan dilanjutkan pemberian makanan pendamping ASI Alami (MP ASI produk lokal) tidak lupa ASI sampai 2 tahun, membawa pengaruh yang positif terhadap rendahnya kemungkinan terkena busung lapar.
Menurut dr Utami Rusli, pakar ASI Indonesia bahwa pemberian ASI Eksklusif 6 bulan ditambah makanan padat alami (produk lokal) yang bergizi seimbang dan tetap memberi ASI hingga 2 tahun menghindarkan bayi dari kasus busung lapar. Ini disebabkan ASI mampu menutup 1/3 kebutuhan energi, 1/3 kebutuhan protein dan 90 % kebutuhan vitamin pada anak sampai usia 2 tahun. Kekurangan tersebut dipenuhi oleh makanan alami produk lokal yang bergisi seimbang yakni 2/3 kebutuhan energi, 2/3 kebutuhan protein dan 10 % kebutuhan vitamin.



Kondisi perlindungan anak di Indonesia, bisa dibilang buruk. Dengan maraknya kasus busung lapar pada anak dan balita, dan banyaknya korban yang meninggal, menggambarkan bahwa pemenuhan hak untuk kelangsungan hidup telah terenggut. Akan tetapi, tidak berarti semuanya berakhir. Banyak jalan menuju roma. Sekali lagi, semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat bisa berperan banyak. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Marilah mengambil peran sesuai dengan bidang dan kemampuan kita masing-masing. Jangan sampai kita termasuk sebagai salah satu pelaku kejahatan yang sistemik, kalau kita hanya membiarkannya terus terjadi tanpa melakukan daya dan upaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar